KALTARA, CAKRANEWS – Tragedi Mandor Berdarah atau Peristiwa Mandor yang terjadi pada 28 Juni 1944, adalah pembantaian paling mengerikan yang terjadi di Kalimantan Barat.
Peristiwa ini juga dikenal dengan nama Oto Sungkup, yang dilakukan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di masa penjajahan.
Tercatat, lebih 21 ribu orang terbunuh, di antaranya adalah Sultan Pontianak Syarif Mohammad Alkadrie serta dua putranya, Pangeran Adipati dan Pangeran Agung.
Jepang melalukan pembantaian ini sejak tahun 1943 di Mandor, Kabupaten Landak, yang dipicu kecurigaan buta adanya upaya pemberontakan di wilayah tersebut.
Kala itu, Jepang curiga di Kalimantan Barat terdapat komplotan yang mereka tuduh sebagai pemberontak, yang terdiri atas kaum feodal, cendekiawan hingga ulama dari berbagai suku.
Penangkapan dengan kekerasan dan pembunuhan brutal mulai dilakukan pada September 1943 hingga 1994.
Orang-orang yang ditangkap, dianggap menghalangi misi utama Jepang yang ingin menguasai sumber daya alam di Kalimantan Barat.
Jepang mengklaim, mereka hanya membunuh 1.000 orang, yang merupakan kaum feodal serta cendekiawan. Namun, ternyata rakyat biasa pun ikut dibantai.
Strategi pembantaian itu telah disusun rapi oleh penjajah. Bahkan, dalam surat kabar Jepang ‘Boruneo Shinbun’, Negeri Matahari Terbit telah menyusun rencana untuk membungkap semua kelompok yang membangkang.
Eksekusi terhadap orang-orang yang ditangkap, dilakukan secara massal pada 28 Juni 1944.
Shuchijichiyo Seibu Youmu ataua Gubernur Negara Bagian Youmu Seibu disebut sebagai pihak paling bertanggungjawab atas genosida ini.
Untuk mengenang Tragedi Mandor Berdarah, pada 28 Juni diperingati Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang disahkan dalam bentuk Perda Nomor 5 Tahun 2007.
Discussion about this post