Oleh Fadhil Qobus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan
Koordinator Wilayah Kalimantan Utara BEM Se-Kalimantan
MASIH MEMBICARAKAN Hasil Pemilu 2024, yang dalam tulisan sebelumnya diakhiri dengan pertanyaan “Apakah kemenangan Prabowo-Gibran mengartikan kemenangan mereka adalah betul-betul pilihan Nurani rakyat, dan merupakan buah dari pilihan yang benar?
Agar mampu menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, tentu kita harus memahami duduk perkara bahwa kemenangan Prabowo-Gibran juga mengartikan kemenangan bagi Jokowi. Kita semua ingat betul ketika masa-masa awal kampanye, Prabowo-Gibran dengan bangga menyatakan diri pro-status quo, ditambah menjual tagline “melanjutkan” perjuangan Jokowi yang membuat keringatnya becucuran. Dua periode lamanya Jokowi memegang kekuasaan sembari membangun personanya sebagai sosok “orang baik” yang disukai rakyat. Persona inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menarik hati masyarakat sekaligus menjadi suara pemilihnya.
Namun, pada dasarnya para pengikut setia Jokowi tidak akan berpindah begitu saja tanpa diawali keterlibatan langsung Jokowi. Dalam pergumulan pilpres tahun ini, Jokowi pernah berinteraksi dengan semua pasangan, tetapi paling intens itu dengan Prabowo: mulai dari kunjungan hingga makan di warung pinggir jalan, diperkuat restu Jokowi terhadap Gibran untuk jadi calon wakilnya. Ini hilal yang cukup jelas bagi para pendukung Jokowi untuk kemudian secara kolektif memutuskan Prabowo sebagai pilihan mereka pada 14 Februari lalu.
Persona atau wajah kepribadian Jokowi sebagai “orang baik” memang jadi idola bahkan rebutan semua paslon presiden terutama 02 dan 03, hingga pada akhirnya Jokowi memihak dengan jelas kepada paslon dimana anaknya berada. Mereka semua tahu potensi suara pemilih Jokowi yang besar dan ketika mampu menghadirkan persona Jokowi dalam barisan mereka tentu akan membuat perjalanan menuju kemenangan jadi lebih ringkas. Persona Jokowi yang menjadi objek rebutan pada dasarnya tidak hadir begitu saja dari pikiran dan nurani rakyat, melainkan dibentuk, dan pada tahapan tertentu pembentukan itu melanggar asas-asas hukum.
Dalam penelitian berjudul “Penggunaan Buzzer dalam Hegemoni Pemerintahan Joko Widodo” oleh Muhammad Darry Abbiyyu dan Diah Asri Nindyaswari, membuktikan bagaimana Jokowi menggunakan sihir bernama Buzzer untuk membentuk personanya sebagai sosok pemimpin yang ideal. Menurut mereka, “Buzzer dilibatkan dalam menangani setiap kritik untuk membungkam agar memberikan kesan bahwa pemerintah Jokowi selalu memiliki citra positif sebagai ‘orang baik’. Segala upaya yang dilakukan oposisi untuk mendiskreditkan pemerintah justru diputarbalikkan faktanya dan merebut ruang wacana (usaha membangun opini public) di media sosial. Tidak sekadar perebutan wacana, untuk “Pengamanan” persona Jokowi terhadap pengkritik, para buzzer juga melakukan pelanggaran-pelanggaran berupa penyebarluasan informasi pribadi, peretasan, hingga penyebaran hoaks.
Selaras dengan itu, pelanggaran pun kian akut dilakukan dalam kontestasi Pilpres 2024. Mulai dari kejanggalan putusan MK yang secara tiba-tiba menurunkan ambang batas usia, sehingga memberikan jalan bagi Gibran untuk maju dalam kontestasi, kampanye-kampanye terselubung para menteri termasuk Jokowi sendiri,penunjukan penjabat kepala daerah bermisikan hegemoni kian menyebar, “arahan” kampanye akar rumput yang menggerakkan kepala desa, sampai politisasi bantuan sosial (BANSOS). Semua itu digambarkan secara seru dan menarik dalam film bertajuk Dirty Vote yang bisa diakses melalui platform Youtube, dimana setelah ditonton jutaan orang, film itu tidak bisa diakses sampai beberapa saat setelah pemilu.
Film yang menampilkan tiga ahli tata negara (Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari) itu segera dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan pembuat onar dan merugikan pasangan jagoan Jokowi, termasuk juga sang sutradara (Dandhy Dwi Laksono). Laporan yang dilayangkan oleh Ketua Forum Komunikasi Indonesia boleh saja diduga sebagai laporan yang berasal dari hati nurani pelapor berdasarkan kecintaannya pada Indonesia, tetapi bagaimana jika laporan tersebut memang ada campur tangan pihak tertentu. Terlepas dari itu, yang menjadi terang adalah bahwa dalam masyarakat kita terdapat kelompok dengan penyakit krisis akut perihal kepercayaan terhadap kepakaran dan bahwa ada upaya represi disetiap kritik yang ditujukan kepada rezim Jokowi. Karena itu, kuat dugaan kita bahwa langkah ini sebetulnya bagian dari “pengamanan” seperti penjelasan diatas tadi.
Meminjam cara pandang Antonio Gramsci, dari dulu hingga saat ini Jokowi selalu mempraktikkan hegemoni. Yakni upaya relasi sosial atau kontrol kelas atas terhadap kelas bawah yang bertujuan melanggengkan ideologi atau kekuasaan yang dimilikinya. Dengan praktik hegemoni dia akan terus memproduksi pengetahuan bahwa Jokowi adalah dan akan selalu “orang baik”. Kontrol yang bersifat koersif/tekanan seperti yang terjadi pada para pengkritik, dan non-koersif seperti yang dilakukan oleh para buzzer.
Dari sini, kita bisa menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian awal tulisan ini, yaitu apakah kemenangan Prabowo-Gibran (Jagoan Jokowi) adalah betul-betul pilihan nurani rakyat? Jawabannya: Iya betul, itu pilihan nurani, tapi nurani itu merupakan produk yang dihasilkan dari praktik hegemoni, sebuah kondisi pengetahuan, mental, dan perilaku yang direkayasa. Artinya, mereka (96 juta sekian orang atau 50% dari masyarakat kita) sedang berada dalam kontrol ideologi, sebut saja “JOKOWISME”.
Mudah sebenarnya untuk membuktikan kebenaran dari adanya ideologi yang memproduksi kesadaran palsu, ketika eksisnya kepercayaan berlebih pada apa yang diajarkan ketimbang kenyataan adalah bukti sederhana keberadaan ideologi tersebut. Majunya Gibran, hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023, dan praktik kecurangan-kecurangan lain yang diterangkan dalam Dirty Vote, menjadi tambahan bukti perihal kesadaran palsu itu, dimana mereka tidak peduli lagi dengan fakta dan tetap memilih pasangan yang tidak layak, memilih lebih percaya pada spekulasi tak berdasar hasil settingan dari buzzer di media sosial.
Maka, apabila kembali pada pertanyaan, apakah berarti bahwa kemenangan mereka adalah pilihan nurani rakyat, dan apakah sebagai buah dari pilihan yang benar? Jawabannya: Iya, pilihan nurani, tapi produk dari hegemoni dan kesadaran palsu, sehingga nurani itu tidak merepresentasikan kondisi yang sebenarnya, dan dengan demikian pilihan mereka adalah sebuah kekeliruan. Dan berarti dua pertanyaan kita lebih awal pun ikut terjawab, bahwa kemenangan Prabowo bukan kehendak rakyat atau sebagian besar rakyat, dan bahwa benar keprihatinan kaum terdidik tidak merepresentasikan apa yang menjadi prioritas rakyat. Karena hegemoni dan kesadaran palsu itu.
Sumber :
- Abbiyyu, Mohammad Darry, dan Diah Asri Nindyaswari. 2022. “Penggunaan Buzzer dalam Hegemoni Pemerintahan Joko Widodo.”
Discussion about this post