CAKRANEWS – Seperti yang diceritakan Hasmah (kakak Sulaiman) sebelumnya. Dulu setiap pulang sekolah, Sulaiman diberi tugas untuk membantu ambo (ayahnya) di sawah, kebun atau membantu menggembala sapi.
Bahkan saat masih pagi buta, sebelum berangkat ke sekolah, Sulaiman terkadang masih menyempatkan waktu mengurusi keperluan ternak sapi milik ambo yang biasa digunakan membajak sawah. Mengecek persediaan makanan atau minumannya.
“Masih sempat ji’ karena lokasi sekolahnya adik saya tidak jauh ji’ dari rumah. Begitu juga sore harinya. Setiap pulang dari sekolah dan selesai mengaji, adik saya tidak lupa kewajibannya mengurus ternak sapi,” kata Hasmah.
Ambo kami, lanjut Hasmah, wataknya keras. Bila ada perintahnya maka anaknya yang ditugaskan tidak boleh menunda-nunda. Kalau melanggar, pasti kena marah. Apalagi kalau ketahuan banyak alasan atau berpura-pura dengan berdalih macam-macam alias makkalasi kata orang Bugis.
Pernah suatu waktu, pulang dari mengaji dan sudah agak sore, Sulaiman bersama kakaknya yang laki-laki, hendak bermaksud menjemput sapi ternaknya yang ada di dataran tinggi atau hamparan perbukitan yang banyak ditumbuhi rerumputan liar.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba sapinya yang lebih duluan sampai di kandangnya, sedangkan Sulaiman belum juga keliatan batang hidungnya. Usut punya usut, rupanya di pertengahan jalan, dia mampir karena tergoda melihat pohon jambu yang buahnya lebat.
Jadi sasaran rebutan anak-anak sebayanya. Sulaiman pun ikut memanjat pohon jambu itu dan asyik menyantap buahnya bersama kawan-kawannya tanpa ingat waktu dan lupa menyadari sapi ternaknya sudah duluan sampai di kandang.
Mendengar hal tersebut ambo marah. Sulaiman dianggap bekerja tidak becus dan kurang bertanggungjawab. Sembari membawa sebilah kayu, ia menyusul anaknya. Ketemu. Paakk…….! Sulaiman berteriak dan menangis minta ampun.
“Sejak kejadian itu adik saya kapok dan tobat. Akhirnya dia berjanji tidak akan lagi lalai bekerja yang menjadi tugasnya,” ungkap Hasmah.
Sulaiman dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan keluarga yang menganut etos kerja tinggi. Neneknya seorang petani ulung. Kemudian turun dan mendara daging ke ambo-nya. Beruntung, ilmu pertaniannya itu hanya sampai pada ambo. Sulaiman sudah pernah merasakan sejenak betapa beratnya melakoni pekerjaan sebagai petani saat masih tinggal di kampung tempatnya dilahirkan.
Namun begitu, etos kerja ambo tidak pudar. Selain bertani dan berkebun, acap kali ia juga merangkap sopir mobil guna mengangkut bahan hasil bumi. Pergi pagi hari dan pulang petang hari, bahkan kadang malam hari.
Sementara ambo pergi bergelut keluar kampung, emak sibuk dengan jualan bahan sembako. Yang Sulaiman banggakan, meski ambo dan emak sibuk dengan urusan pekerjaanya, namun masih sempat meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Setiap ambo pulang, ia selalu bertanya kepada emak tentang keadaan semua anak-anaknya.
Berkat pengalaman dan tempaan dari orangtua-nya, Sulaiman tumbuh menjadi pria yang gigih, ulet dan terbiasa mandiri. Tidak tergantung kepada orang lain, dan pekerja keras dalam memperjuangkan apa yang sudah menjadi tekadnya.
“Ambo kami mendidik anak-anaknya dengan membiasakan kami bekerja keras, tidak dimanja. Bahkan sama sekali tidak membedakan anak laki-laki dan perempuan. Sama saja,” tutur Hasdina, adiknya.
Meskipun begitu dari sisi lain, tinggal di kampung yang jauh dari kota, tak mengurangi rasa ketentraman dan kedamaian selalu terpatri, sangat sederhana dalam kehidupan keluarga Leman. Apalagi kesederhanan ambo dan emak, sangat menginspirasi anak-anaknya. Terutama tentang bagaimana memahami rasa bersyukur dan arti masa depan.
Bahwa kecukupan dalam kehidupan tergantung bagaimana kita mampu mensyukuri rejeki yang ada. Begitu pun keterbatasan, tidaklah menghambat harapan dan impian seseorang.
Discussion about this post