CAKRA.News – Pidato Jokowi saat jadi pembicara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait perubahan iklim (COP26) di Glasgow membuat organisasi pencinta alam dunia green peace meradang.
Pidato yang menyebutkan laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir sangat tidak bisa diterimanya.
Gereen peace pun mengurai data bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).
Deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.
Semua kritisi yang disampaikan Green peace tidak salah, jika melihat permasalahan deforestasi di Indonesia melalui visi ‘gelas setengah kosong’.
Dia melihat, apa yang dilakukan pemerintahan jokowi tidak mencapai kinerja yang diharapkan karena dilihatnya masih ada setengah bagian gelas yang kosong.
Terlihat sekali dari kritisinya, penurunan deforestasi yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi adalah nihil bahkan deforestasi dikatakannya masih ada peningkatan. Bahkan kinerja pemerintah yang signifikan menurunkan laju deforestasi dalam rentang 2019-2021, menurutnya tidak lepas dari situasi pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.
Tentunya sangat beda dengan pandangan Jokowi yang berpidato mewakili kinerja pememrintahan Indonesia. Jokowi melihat penurunan deforestasi dari visi ‘gelas setengah penuh’.
Jokowi menyebutkan laju deforestasi di Indonesia turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir.
Ini bukan berarti bahwa sudah tidak ada lagi deforestasi yang terjadi di Indonesia, dalam artian Jokowi melihat bahwa kinerja pemerintahannya telah mengisi gelas setengahnya, tentu masih ada bagian yang kosong.
Jokowi bicara tentunya juga dengan data, era pemerintahannya yang pertama 2014-2019 dan mulai 2019 hingga terkini.
Jelas sekali terlihat kinerja Jokowi untuk menurunkan deforestasi termasuk dengan moratorium pemberian ijin pembukaan lawan sawit dan adanya peradilan untuk para pengusaha yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.
Terlepas dari visi gelas setengah kosong atau setengah penuh, ternyata ada pula yang melihat masalah deforestasi di Indonesia dengan tidak mempedulikan kondisi gelas, baik setengah penuh ataupun setengah kosong.
Mereka hanya ingin sejumlah kepala negara yang memberikan pujian ke Jokowi segera menarik pujiannya, dan memastikan kinerja pemerintahan di Indonesia era Jokowi adalah yang terburuk sepanjang masa, apapun yang dilakukannya, semua salah Jokowi.
Dengan menggulirkannya terus menerus di sejumlah media mainstream di Indonesia ataupun via media sosial termasuk WAG, dari visi buruknya kinerja pemerintahan Jokowi, tentu ada niatan lain.
Mereka hanya punya satu visi yaitu menyebut kinerja Jokowi tidak ada bagusnya, sudah sangat tidak betah jika Jokowi masih duduk lama hingga masa jabatannya berakhir, dan jika ada permasalahan sekecil apapun yang terjadi, lagi-lagi ‘semua salah Jokowi’.
Entahlah, apakah ada yang dijadikan wayang ataupun ada dalang dibalik kritisi deforestasi di Indonesia yang disuarakan green peace, dan isu itu terus digulirkan tidak ada habisnya dari sisi kinerja buruk pemerintahan Indonesia, yang jelas mata kepala bangsa ini melihat apa yang telah diperbuat pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo.
Terasa selama beberapa tahun terakhir, tidak ada lagi asap kebakaran hutan seperti dulu yang bahkan diprotes negara tetangga dengan menyebut Indonesia telah mengekspor asap hingga mengganggu kesehatan warga negara tetangganya.
Anak bangsa bisa melihat siapa yang berbuat untuk kebaikan Indonesia, berkibar terus sang sakaku untuk satu Indonesia, maju. **
Suryadi, S.Hut, Redaktur cakra.news
Discussion about this post