Suhendra Abd Kader (Dosen Sosiologi Unsrat)
“If happiness is what we wish for, it does not mean we know what we wish for in wishing for happiness. Happiness might even conjure its own wish” (Ahmed, 2010).
“Kita hidup di zaman yang doyan menganjurkan berpikir positif ketimbang berpikir kritis. Ini menunjukan kita sebenarnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja” (Enda).
Kebahagiaan hampir bisa dipastikan merupakan dambaan sekaligus yang utama dari tujuan akhir setiap orang. Setiap dari kita pasti menginginkan-nya, tak diragukan lagi. Namun, jika kita mendambakan kebahagiaan, itu bukan berarti kita tahu apa yang kita dambakan, kebahagiaan memunculkan keinginannya sendiri. Atau kebahagiaan mungkin tetap menjadi sebuah keinginan dan obsesi karena tidak pernah terwujud.
Julio Cortazar (1962) Dalam ‘Instructions On How to Wind a Watch’ mengurai bagaimana obsesi dapat mengubah waktu dari pelayan menjadi tuan kita. Dalam ilustrasinya; ketika seseorang memberimu hadiah jam, kamu tidak hanya menerima alat penunjuk waktu tetapi juga alam semesta baru: kewajiban, kebiasaan, kecemasan, dan obsesi akan detik yang terus berlalu. Apa yang hendak dikatakan dari ilustrasi ini ialah; diri kita sendirilah hadiahnya. Iya, Diri kita adalah hadiah sekaligus anugerah terbesar bagi perkembangan industri kebahagiaan yang sedang mekar kini.
Metafora waktu ini tepat tuk menggambarkan logic dari cara kerja kebahagiaan beroperasi. Liat saja bagaimana psikologi positif dan industri kebahagiaan berupaya mengagregat perasaan dan menkapitalisasi-nya sebagai cara mempromosikan kebahagiaan. Dari produksi pengetahuan how to be happy, aktivitas heeling, praktik meditasi, pusat kebugaran, quote motivasi hingga saran makanan diet yang menjanjikan kebahagiaan, hadir berseliweran secara berkala dan berulang menghantui imajinasi kita tentangnya.
Fakta ini juga dalam banyak hal mempengaruhi cara kita memahami, merasakan dan membayangkan bagaimana kebahagiaan dialami. Orang tidak lagi percaya bahwa kebahagiaan berkaitan dengan takdir atau keadaan; ketiadaan penyakit, penghargaan terhadap seluruh kompleksitas hidup, atau penghiburan kecil bagi “orang bodoh”. Kebahagiaan justru kini dilihat sebagai suatu prestise, semacam standar qualified untuk mengukur validitas nilai biografi seseorang, atau ukuran kepemilikan yang menentukan kepuasan perasaan baik emosional kita. Suatu prestise yang kini sedang digarap dan dipromosi oleh sains psikologi positif dan industri kebahagiaan (feel good industri) kini menembus batas tata kelola ekonomi dunia (bagian ini akan dibahas dalam part II).
Kebahagiaan sebagai Proyek Depolitisasi
Secara sosiologi terlepas dari baik atau buruk, proyek kebahagiaan bersifat apolitis. Dikatakan begitu karena, diskursus kebahagiaan dimulai dengan suatu asumsi bahwa masalah kebahagiaan dan ketidakbahagiaan merujuk pada kondisi psikis dan perasaan individu alih-alih dibaca sebagai problem struktural. Salah satu proponen ilmu kebahagiaan baru (Layard, 2003) (Layard, 2005) dijuluki “Happiness tsar” mendefenisikan kebahagian sebagai perasaan senang—sebaliknya kesengsaraan adalah perasaan buruk. Melalui pemilahan binary ini, baginya tidak ada yang lebih baik daripada maksimalisasi kesenangan. Caranya adalah ‘rekayasa perasaan’ melalui serangkaian praktik meditasi, latihan olah jiwa, berpikir positif, konsumtif dsb.
Melalui pendefenisiaan ini, proyek kebahagiaan bekerja melalui serangkaian praktik depolitisasi. Praktik depolitisasi ini pertama-tama menormalkan asumsi bahwa persoalan struktural seperti ketimpangan sosial adalah persoalan mentalitas yang diakibatkan oleh ciptaan kita sendiri. Para penganjur diskursus kebahagiaan membenarkan bahwa problems ketimpangan sosial seperti (kekayaan dan kemiskinan, kesuksesan dan kegagalan, kesehatan dan penyakit) merupakan suatu kondisi (sine qua non). Suatu keadaan yang memungkinkan orang miskin memandang kesuksesan orang kaya sebagai pertanda harapan, dan motivasi untuk berkembang. Studi ekonomi-politik kebahagiaan meyakini semakin dalam ketimpangan, justru semakin banyak peluang yang akan dilihat individu di masa depan, sehingga semakin besar pula kebahagiaan yang dibawanya.
Basis pemikiran ilmu baru kebahagiaan ini berakar dari tradisi utilitarianisme. Pemikiran ini sejak awal dirumuskan oleh mazhab Chicago 1950-an sebagai basis eksplorasi ideologi Neoliberal. Proyek ideologi ini dimaksudkan untuk meyakinkan dunia bahwa pencarian individu atas kebahagiaan adalah yang paling berharga dan satu-satunya pengganti yang realistis untuk perwujudan kebaikan kolektif. Tujuannya untuk mengaburkan kontradiksi kelas melalui promosi nilai-nilai individualis, serta mendukung persaingan dalam sistem yang timpang dalam satu tarikan napas. Gejala yang oleh (Cabanas & Illouz, 2019) lambangkan sebagai kemenangan masyarakat personal (terapeutik, individualis, teratomisasi) atas masyarakat kolektif.
Kedua, praktik depolitisasi diatas berkembang menjadi rezim biopower (Baca Foucault; 2014) yang kini tidak hanya menyasar warga negera yang ‘ubnormal’. Seluruh warga negara kini tak terlepas dari target operasi kekuasaan. Operasi kekuasaan ini bekerja melalui skema maksimalisasi diri. Hal ini karena, projek dari ideologi kebahagiaan ditujukan untuk membentuk psytizen dengan menggesar konsep citizen sebagai basis politik kewarganegaraan. Dibeberapa negara indkator baru Gross Happiness Product (GHP) kini mulai diperkenalkan dan digunakan menggeser persoalan keadilan dan kesetaraan sebagai indikator dalam pencapaian pembangunan. Dalam skema ini, peran negara dalam pemenuhan kebutuhan hak warga melemah sementara industri dan pasar kini memiliki kontrol yang lebih kuat dalam mengatur kehidupan kita.
Melalui skema-skema ini Sekali lagi, sains baru psikologi positif dan industri kebahagiaan berperan mendorong hal itu. Peran ilmu ini yaitu mengintegrasikan suasana hati dan perasaan, makna, preferensi, perkembangan hingga sudut-sudut terdalam jiwa ke dalam kalkulus konsumsi, efisiensi, produktivitas, dan kemajuan nasional berskala besar. Ilmu baru ini kini gencar memproduksi buku pegangan (handbook) yang berisi semacam manual kawarasan, kiat-kiat hidup bahagia, hingga hedonometer (alat pengukur kebahagian) untuk proses validasi kebahagian kita. Dengan cara ini kita disibukkan untuk terus memperbaiki kekurangan psikologis, alih-alih berpikir tentang emansipasi dan keadilan sosial.
Bersambung,,,
Bibliografi dan Bacaan Lanjut
Ahmed, S. (2010). Introduction Why Happiness, Why Now? . Dalam The Promise of Happiness (hal. 1-2). Durham and London: Duke University Press.
Cabanas, E., & Illouz, E. (2019). Techno-happycracy. Dalam “Manufacturing Happy Citizens How the Science and Industry of Happiness Control Our Lives” Kutipan Dari: Edgar Cabanas;Eva Illouz;. “Manufacturing Happy Citizens.” (hal. 73-82). Cambridge CB2 1UR, UK: Polity Press.
Layard, R. (2003). Lecture 1: What Is Happiness? Are We Getting Happier? Dalam “Happiness: Has Social Science a Clue? . London: London School of Economics and Political Science: Lionel Robbins Memorial Lecture Series.
Julio Cortázar. (1999). Cronopios and Famas (Hal 23–4) New York: New Direction Books.
Discussion about this post