CAKRANEWS – Adakah yang lebih mengkhianati esensi pendidikan daripada membiarkan suara kritis dibungkam di tanah kelahiran nalar?
Adakah yang lebih menyakitkan bagi demokrasi daripada menyaksikan kampus, tempat lahirnya ide-ide pembebasan, dijadikan barak tanpa peluru, tapi penuh tekanan?
Kita tengah menghadapi ancaman diam-diam yang menyaru sebagai kerja sama. Militer, dengan segala kepiawaian strategi dan simbolisme patriotik, kini merangsek masuk ke ruang yang seharusnya steril dari dominasi: kampus.
Atas nama bela negara, atas nama ketahanan ideologis, tentara kini diberi ruang untuk membina mahasiswa, bahkan dalam praktik baris-berbaris. Kita bertanya: sejak kapan berpikir harus diatur langkahnya?
Revisi Undang-Undang TNI bukan sekadar perubahan administratif. Ia adalah pintu yang dibuka lebar untuk menyambut bayangan masa lalu yang belum usai. Dari Udayana hingga Merauke, dari ruang kuliah hingga ruang rektorat, jejak lars mulai terdengar. Di Unsoed, mahasiswa dipanggil untuk berdialog, tetapi yang mereka hadapi adalah tekanan, bukan percakapan. Di Papua, permintaan data mahasiswa oleh Kodim menggema sebagai gema pengawasan yang tak pernah benar-benar pergi.
Apakah ini wajah baru nasionalisme? Atau ini hanya romansa usang yang dikemas ulang untuk meninabobokan logika dan membius keberanian intelektual?
Kampus adalah ruang suci bagi perbedaan gagasan, bukan tempat tunduk pada satu narasi tunggal. Di sinilah Paulo Freire menyebut pendidikan sebagai praktik kebebasan.
Tapi bagaimana mungkin kebebasan tumbuh jika benih-benihnya diinjak oleh sepatu-sepatu yang menganggap disiplin lebih utama daripada diskusi?
Retorika “pembinaan teritorial” yang dilontarkan oleh militer hanyalah gema dari era ketika tentara memainkan dua peran dalam satu panggung: kekuasaan dan kebenaran. Kita pernah hidup dalam bayang-bayang Orde Baru, ketika indoktrinasi menggantikan dialog, dan ketakutan menjadi alat pemerintah. Apakah kita sungguh ingin kembali ke masa itu, masa ketika suara mahasiswa dibalas dengan peluru, ketika kampus tak lebih dari ruang pengawasan yang diselimuti propaganda?
Ingatlah: kepercayaan publik bukanlah tiket untuk dominasi. Tingginya elektabilitas TNI dalam survei bukan lisensi untuk masuk ke ruang-ruang kritis yang tidak pernah mereka pahami. Bahwa tentara dipercaya publik bukan berarti mereka harus hadir di setiap lini kehidupan.
Demokrasi sejati tumbuh dari batas yang jelas antara sipil dan militer. Ketika batas itu kabur, maka kita tak sedang menjaga negara, kita sedang menggali lubang untuk kematian kebebasan.
Maka hari ini, kita harus berseru. Kita tidak butuh barak di dalam kampus. Kita butuh ruang yang merdeka, tempat mahasiswa bisa bersuara tanpa takut, tempat dosen bisa mengkritik tanpa dilabeli makar, tempat ilmu tumbuh tanpa harus mengangguk kepada kekuasaan. Kita butuh kampus yang berani berdiri tegak sebagai tiang demokrasi, bukan tiang gantungan bagi suara-suara yang menolak tunduk.
Dan jika suara ini dianggap berlebihan, mari kita bertanya balik: bukankah sejarah selalu dimulai oleh mereka yang berani melawan ketika yang lain memilih diam?
Penulis : Ndaru Teguh Prakoso
Presiden Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan
Discussion about this post