CAKRANEWS – Sambil menunggu panggilan tes AKABRI (sekarang namanya AKMIL), Sulaiman mempersiapkan segala sesuatunya. Selain kemampuan intelektual, juga fisik dan mental.
Sebagai anak dari kampung, dia tak menemui kesulitan berarti untuk urusan fisik. Karena hampir setiap hari dirinya sudah “berlatih” dan ditempa dengan alam. Seperti berlari, membantu ambo (ayahnya) di sawah dan kebun, jalan kaki masuk keluar hutan, keliling pasar dan termasuk berenang di sungai bersama anak-anak kampung. Paling tidak, sisa mental dan kemampuan akademiknya saja yang perlu diasah lagi.
“Sulaiman tidak pernah cerita kalau mendaftar tes AKABRI. Karena itu saya yakin dia melakukannya diam-diam tanpa ditahu ambo-nya,” cerita Rustam yang saat ini berkarir sebagai guru di kabupaten Maros.
Keinginan Sulaiman masuk AKABRI sempat tertunda. Diceritakan, waktu itu dia sudah pulang ke kampung dengan wajah lesu dan perasaan kecewa.
“Saya lihat adik saya sedih. Saya bisa memaklumi. Soalnya dia merasa telah menjalani dan mengerjakan semua tes dengan baik. Bahkan bocoran yang kami dengar skor dan nilainya cukup tinggi.Tapi hasil pengumuman mengatakan lain, dirinya tidak masuk daftar kelulusan peserta tes daerah Sulawesi Selatan yang akan dikirim ke Magelang,” cerita Hasmah (kakaknya).
Itu tak berlangsung lama. Sulaiman bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Dia juga bisa maklum dengan bercermin kepada dirinya yang hanya seorang anak petani dari kampung yang tidak punya channel apalagi koneksi sebagaimana isu yang merebak dan berhembus kencang pada masa itu.
Sulaiman tak patah arang. Tak ingin larut dalam kegagalan itu. Dia memutuskan akan mencobanya lagi tahun depan.Tekadnya sudah bulat. Karena Sulaiman percaya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Dan dengan modal pendidikan bisa mengubah nasib dirinya dan keluarganya.
Dimasa penantian Sulaiman “melarikan” kekecewaannya dengan produktif. Ia mengisi waktu dengan aktif pada kegiatan Resimen Mahasiswa (Menwa) di Universitas Pepabri Makassar. Melalui unit kegiatan mahasiswa di kampus perguruan tinggi swasta itu membuatnya sedikit melupakan dan mengobati kegagalannya masuk AKABRI.
Namun beberapa bulan kemudian, tiba-tiba datang sepucuk surat resmi yang ada logo TNI yang dibawa oleh pegawai kecamatan di kampungnya. Mencari warga yang bernama Sulaiman. Warga yang ditanya lantas menunjuk rumah Sulaiman dan diterima oleh ambo.
“Kata ambo, Sulaiman dipanggil dan disuruh menghadap langsung ke kantor Kantor Kodam VII/Wirabuana di Makassar (sekarang berubah nama Kodam XIV/Hasanuddin) hari itu juga. Penting,kata pembawa surat itu,” cerita Hasmah.
“Benarkah yang barusan saya dengar, bukan mimpi?” bisik Sulaiman, dalam hati. Ia coba menenangkan dirinya, tidak terburu-buru merasa senang dulu.
Tapi sebelumnya, personel Kodam yang ditemuinya itu meminta maaf karena terjadi kesalahan teknis dan administrasi. Katanya, ada nomor tes yang tidak sesuai dengan orangnya.
Pulang membawa kabar tersebut, alangkah gembira keluarganya di kampung. Termasuk ambo dan emak, sebagai orang pertama diberitahunya. Keduanya menitikkan air mata bahagia.
Ambo sudah luluh dan bisa berdamai dengan hatinya dan mengubur impian Sulaiman jadi petani atau pedagang. Sampai-sampai ambo-nya rela melego sepetak sawahnya untuk mensupport keperluan biaya pendidikan dan keberangkatan Sulaiman ke pulau Jawa. Kawannya yang mengajak dan membujuk dirinya ikut tes justru tidak lulus. Itulah takdir.
Berhubung karena waktu itu proses pendidikan reguler sudah berjalan, maka Sulaiman baru bisa berangkat ke Magelang mengikuti pendidikan setahun kemudian. Impiannya mendekati kenyataan.
“Itulah pertama kali saya ke pulau Jawa. Mungkin kalau tidak ikut tes AKABRI, saya tidak pernah keluar dari kampung,” kenang Sulaiman mengingat kembali memori awal perjalanan karir dan hidupnya.
Dengan merantau, kelak kan kau petik buah sikap yang kau tanam.
Berbagilah sampai kau merasakan kebahagiaan yang merata.
Dengan merantau engkau menjadi tahu, semua kebaikan dikampungmu menjadi modal dalam bergaul.
Belajarlah untuk menjadi lebih baik.
Discussion about this post