Nunukan, CAKRANEWS – Salah satu dasar yang dijadikan pertimbangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam melakukan revisi terhadap Perda Nomor 16 Tahun 2018 tentang pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah karena negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Didalam Undang – undang tentang Pemerintahan Daerah juga menegaskan, perlunya dilakukan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat agar mendapatkan hak yang sama,” ujar Hasruni
Hal tersebut, disampaikan oleh Kepala Bagian Hukum Setkab Nunukan, Hasruni dalam rapat dengar pendapat (RDP) bertempat di ruang Ambalat 1 Kantor DPRD Nunukan, Rabu (31/5).
Ditambahkan oleh Kepala DPMD Kabupaten Nunukan Helmi Puda Aslikar, menuturkan pembahasan Perda yang dilakukan saat ini merupakan upaya untuk menerjemahkan pertauran yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Helmi menyebut, Perda tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) pada beberapa daerah di Indonesia, mengadaptasi 2 tipe. Yang pertama dengan mengambil langsung secara utuh nomen klatur yang ada untuk dijadikan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA.
Sedangkan yang kedua pemberdayaan yang ruang lingkupnya lebih luas, yang isi di dalamnya adalah pengakuan terhadap MHA.
“Kita di Kabupaten Nunukan mengadaptasi tipe yang kedua tersebut,” ungkap Helmi.
Sehingga, pada pembahasan perubahan atas perda Nomor 16 Tahun 2018 tersebut, pemkab menawarkan pilihan yang fokusnya pada pemberdayaan MHA secara umum, tanpa merinci atau menyebutkan etnisnya secara spesifik.
“Kita menawarkan adaptasi tipe 2, pertimbangannya apabila di kemudian hari ada klaim serupa, yang dilakukan oleh etnis lainnya, pemerintah tidak perlu lagi melakukan perubahan terhadap Perda terbaru yang sudah diterbitkan,” imbuhnya.(*)
Discussion about this post