INTERNASIONAL, CAKRANEWS – Impian para pria untuk beristri dua atau lebih secara sah diakui negara, nampaknya akan terwujud. Namun, tidak di Indonesia, melainkan di Pantai Gading.
Parlemen Pantai Gading sejak 30 Juni 2022 lalu sudah mengajukan RUU legalisasi poligami, karena alasan maraknya praktik tersebut yang mendesak untuk disahkan dan diakui.
Meskipun, sebenarnya angka poligami di Pantai Gading terus menurun dalam beberapa tahun belakangan. Namun, perkawinan dengan dua istri atau lebih belum mendapat pengakuan resmi.
Anggota parlemen Yacouba Sangare yang mengajukan RUU itu menuturkan, bahwa berdasarkan penelitian tahun 2019 oleh Pew Research Center, 12 persen rumah tangga di Pantai Gading menganut pernikahan poligami.
Sangare mengadvokasi legalisasi poligami sejak 2014. Dia berulang kali menyatakan bahwa status quo tidak disesuaikan dengan realitas lokal.
Bagi Sangare, poligami adalah fenomena yang mendahului kolonialisme dan telah menjadi bagian dari struktur masyarakat sub-Sahara selama berabad-abad.
Menurutnya, undang-undang tahun 1964 yang secara ketat mengakui monogami terbukti tidak efektif. Sehingga, langkah revisi terhadap UU itu dianggap perlu.
“Ada perempuan yang secara de facto menjalani hubungan poligami tetapi tidak bisa mengklaim apa-apa (ketika) hubungan itu bubar,” kata Sangare, seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis 21 Juli.
“Mereka tidak aman, mereka mengurus diri mereka sendiri, kadang-kadang dengan anak-anak untuk dibesarkan sendiri. Oleh karena itu, kami ingin mengakhiri kemunafikan ini. Pasangan poligami dapat ditemukan di mana-mana di tanah air, lintas wilayah, suku, agama, dan strata sosial. Jadi mengapa tidak memperhitungkan dan melindungi mereka?”
Namun, RUU ini mendapat penolakan keras dari mantan Menteri Urusan Perempuan Pantai Gading, Constance Yai. Ia berkata, rancangan regulasi yang diajukan berbau provokasi dan diskriminasi atas hak-hak wanita.
Yai yakin, laki-laki yang menikahi lebih dari satu perempuan bertentangan dengan hukum Pantai Gading khususnya Pasal 4 Konstitusi, yang menyatakan bahwa ‘semua orang merdeka dan setara di hadapan hukum; tidak ada perlakuan khusus atau diskriminasi ras, etnis, klan, suku hingga gender’.
RUU poligami ini masih perlu melalui serangkaian langkah sebelum diajukan untuk pemungutan suara di DPR. Sangare mengatakan untuk menjadi undang-undang, perlu disahkan Mahkamah Konstitusi dan ini perlu waktu antara lima bulan sampai lima tahun untuk bisa menjadi undang-undang.
Discussion about this post