By ; Suhendra abd Kader (Alumni Sosiologi UGM)
Kita hidup dalam suatu komunitas politik bernama Republik tetapi dunia per-politik-an saat ini justru lebih banyak dihiasi oleh perilaku korupsi, politik uang, sentimen agama dan primordialisme. Selain itu dunia ke-publik-an juga lebih banyak dihiasi oleh politik pencitraan, gimmick politik hingga hal-hal yang nyeleneh, gemo-gemoyan. Gejala ini menunjukan bahwa republik yang kita hidupi faktanya minus yang publik. Ia diterima sebatas nama dan bentuk negara, titik. Absennya pemahaman tentang republik muncul sikap sinis yang beranggapan bahwa ya begitulah politik. Politik dipahami lebih sebagai celaan, ketimbang sesuatu yang luhur. atau kedua sikap apatis dimana orang justru menjadi bersikap anti dengan politik. Tulisan singkat ini berupaya mengembalikan ideal politik republikan dengan menyelami konteks politik yang aktual.
Jika kita belajar filsafat dan pemikiran politik, basis adanya politik dibangun melalui pemilahan antara yang politik dan yang bukan politik. Di era Yunani klasik – Romawi kuno, politik dibangun melalui pemilahan antara polis – oikos, res publica – res privata. Pemilahan itu dimaksudkan untuk memberi batasan dan garis demarkasi dalam politik. Politik (dalam arti polis-respublik) kemudian diartikan dengan keutamaan, kebajikan, kebebasan suatu arena dignitas yang dibedakan dengan ranah keinginan, kebutuhan, dan reproduksi singkatnya arena instigtif sebagaimana yang baerlaku dalam wilayah oikos-private, dan sifatnya transaksional. Diatas pendasaran ini politik dilembagakan dan direalisasikan untuk membangun kehidupan yang bahagia (eudeomonia). Inilah internal good dari politik, maksud dan tujuan diadakan. Begitu penting urusan ini, Aristoteles (1981) menempatkan politik sebagai ilmu yang paling utama, karena menyangkut urusan keadilan dan kebaikan bersama.
Demikian halnya orang Romawi kuno yang terpengaruh dengan pemikiran Yunani klasik, mengembangkan ajaran res publika sebagai landasan etis-normatif dalam tata pemerintahan. Ditangan Cicero (1991) gagasan res publika dielaborasi sebagai model pemerintah untuk melayani kepentingan rakyat (res populi). Para pendiri Republikan seperti Muhammad Hatta (1946) menyebut dengan pemerintahan untuk “kesejahteraan umum”. Untuk menegaskan hal itu, mereka membuat kode etik dan pendidikan moral keutamaan (semacam pembentukan karakter) bagi warga negara, politisi, dan pejabat publik yang akan menduduki jabatan politik. Semua itu bertujuan untuk memfilterisasi kepentingan-kepentingan privat yang akan terbawa masuk ke dalam dunia politik.
Gambaran sederhana di atas menjadi penting, mengingat, politik menjadi rusak dan tidak bermoral manakala terjadi invasi yang privat ke dalam yang publik. Hal ini karena pengelolaan yang publik akan dibasiskan pada norma dan logic sebagaimana yang berlaku di wilayah oikos sebagai Role of the game (aturan main). Dalam logic yang di drives (digerakan) instigtif dan transaksional ini sangat sulit membayangkan ideal politik republik, karena yang publik justru menjadi arena untuk mengejar kepentingan dan hasrat individual. Politik dengan demikian pada akhirnya dipahami dalam arti yang sangat pragmatis sebatas persoalan “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana” tanpa lagi pendasaran etis-normatif. Dalam logix ini segala cara pun dibenarkan selama kepentingan tercapai.
Republik; dalam invasi yang privat
Cawe-cawe (turut ikut campur) presiden dalam kontestasi Pemilu menjadi penanda yang sangat jelas menggambarkan apa yang oleh Lacan (1956) istilahkan sebagai the name of the father. Isitlah ini merujuk pada “kuasa kebapakan” (menentukan apa yang boleh-tidak, memberi hukuman-hadiah) atas anggota keluarga. Layaknya sosok bapak, Jokowi meng-interupsi dan menunda tatanan republik demi kepentingan anak-anaknya. Skandal di mahkamah konstitusi, tafsiran presiden atas UU pemilu yang membolehkannya berkampanye, politisasi bansos, hingga mobilisasi aparatus negara menggambarkan orkestrasi yang begitu telanjang ketertundukan re(s)publik di bawah invasi dari yang privat.
Tak perlu belajar etika kepublikan, anak SD yang tak paham politik pun bisa melihat kecerdikan dan kepiawaian dalam upaya mengelabui publik. Istilah cawe-cawe dalam kebudayaan Jawa lebih merujuk pada aktivitas yang konteksnya berlaku dalam domain yang privat. Akan tetapi hendak di tarik masuk ke dalam yang publik dengan alasan dan pembenaran moralitas (Cnn, juni 2023). Dalam Re(s)public(a) seluruh tindakan cawe-cawe itu dilihat sebagai upaya untuk mengubah re(s)publik(a) Indonesia menjadi oikos besar (keluarga besar) tempat bagi warga negara saling bersaing ibarat anak-anak berebut perhatian sang bapak. Liat saja Gibran, Kaesang mendadak jadi ketua partai, hingga kelakuan para jokower, dan “intelektual oportunis” yang senang menjadi bagian yang membenarkan seluruh tindakan tersebut. Ada semacam fantasi utnuk meliahat sang bapak menyembelih banteng, lambang partai yang menganggapnya sebagai “petugas”. Dalam dunia politik gejala seperti ini disebut dengan persaingan aktor merebut prestise (time). Liat juga pidato Megawati mempersonifikasi dirinya dengan sosok “ibu yang mengayomi” rakyat-nya(ku) dari intimidasi polisi dan tentara. Frasa “menyembelih” dan cawe-cawe secara gamblang hendak menegaskan sosok the real father.
Gejala bapak-isme (paham kebapakan) ini bukanlah hal baru, tetapi menjadi model ideal kepimpinan di Indonesia. Kalua dilihat fantasi terjauh seorang pemimpin atau pejabat politik adalah menjadi seorang bapak. Prabowo dan Gibran misalnya mempersonifikasi diri mereka sebagai bapak yang peduli pada kesehatan biologi anak-anaknya melalui program makan siang gratis. Anis-imin bahkan secara terang-terangan mempersonifikasi dirinya dengan sosok “abah” (Tempo, edisi 4 februari 2024). Untuk keperluan itu ia meminjam kuasa ilahiah (ya rahman, ya rahim) untuk memberi kesan religius dan penyayang bagi anak-anaknya jika menjadi seorang presiden.
Moralisasi politik berwajah bapakisme dan abahisme dapat merusak sendi-sendi ke-politik-an republik. Dikatakan begitu karena, operasi dari ideologi ini menyediakan klaim dan justifikasi secara moral menggeser relasi politik kewargaan (citizen) dalam suatu modus indentifikasi bapak/abah-anak yang sifatnya penundukan. Cara ini dipakai sebagai soft power oleh rezim Orde Baru untuk menopang kekuasaan. Dalam modus identifikasi ini dimensi kepolitikan republik kehilangan ruhnya. Hal itu karena tidak ada lagi pemilahan res publika-privata sebagai tiang pancang dan tolak ukur tindakan etis-normatif dalam politik. Pendasaran politik dengan demikian dibasiskan pada moralitas balas-budi antara ayah-anak yang sifatnya transaksi dan hirarkis. Politik diterjemahkan tidak ubahnya seperti aktivitas filantropi; makan siang gratis, bagi-bagi sembako, sepeda, dsb menjadi jalan pintas meraih simpatik sekaligus cara mudah men-depolitisasi (menundukan) warga negara.
Moralisasi politik berkedok bapakisme ini juga melahirkan suatu jenis politik punish and reward. Sebagaimana relasi anak-bapak dalam keluarga, warga negara, yang patuh, sungkem, mengikuti perintah dan arahan sang bapak akan mendapat hadiah—begitu pun sebaliknya. Praktik ini sangat kental dalam hal promosi kepangkatan, tukar guling jabatan birokrasi hingga praktik perburuan rente yang kental dengan unsur-unsur kolusi dan nepotisme. Budaya moralitas sanjungan “asal bapak senang”, hingga politik cari perhatian, nama, dan cari aman menjadi budaya poltik yang melahirkan mentalitas yang tidak baik.
Re(s)publik(a) sebagai batas minimal
Republik menyaratkan politik yang steril dari kepentingan privat. Dalam republik politik hanya dikatakan politik jika tujuannya untuk mengabdi pada kepentingan umum. Seluruh dasar dari tindakan etis-normatif politik harus ditujukan untuk menghindari determinasi yang privat dan dominasi primordialisme agar republik benar-benar mengabdi untuk kepentingan umum. Republik harus menjadi paradigma dan landasan etis-normatif bagi setiap warga negara dalam melaksanakan pemerintahan politik. Korupsi, kolusi dan nepotisme dengan demikian adalah musuh utama republik.
Republik mensyaratkan partisipasi warga secara aktif dalam politik. Istilah partisipasi tidak = datang ke TPS memilih pemimpin kemudian politik dianggap sudah selesai. Konsep partisipasi dalam res-publika memiliki arti yang lebih luas, karena manusia secara alamiah adalah mahklup politik (zoon politikon), maka partisipasi merupakan realisasi tertinggi kodrat manusia. Konsep partisipasi dalam republik hendak mendobrak kebuntuan liberalism politik perwakilan yang mengunci hak-hak politik warga sebatas sebagai pemilih (voter). Suka tidak suka, diakaui atau tidak, politik berlangsung dalam seluruh tindakan manusia detik-menit-jam.
Dalam komunitas politik republik, tolok ukur mengenai siapa itu warga negara tidak dipandang dari; status sosial, etnis, agama seseorang. Tidak juga diukur dari kesolehan-kekafiran, kedermawanan seseorang, melainkan dari keberanian (sikap patriot) memenuhi kepentingan kebaikan bersama di atas segala-galanya. Dalam arti ini republik melawan segala bentuk dominasi identitas partikular seperti agamaisme, bapakisme, abahisme yang hendak menggeser relasi kewargaan dalam modus indentifikasi tertentu; ayah-anak, soleh-kafir, islam-muslim, lawan-kawan dsb, sebagai pendasaran etis politik.
Discussion about this post