Nunukan, CAKRANEWS – Pada Pemandangan Umum Fraksi-fraksi atas Penyampaian Nota Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Nunukan Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nunukan Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat, pada umumnya menyetujui pembahasan perubahan Perda tersebut.
Adapun Pemandangan Umum Fraksi-fraksi yang pertama Fraksi Partai Hanura, Melalui juru bicaranya Ahmad Tryadi, menyampaikan, pertama menyetujui untuk dibahas Raperda sesuai tahapan-tahapan dalam rangka penyelarasan, pembulatan, dan pemantapan rancangan peraturan tersebut, baik terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun dinamika sosial masyarakat Kabupaten Nunukan.
Kedua, Fraksi Partai hanura , meminta kepada Anggota DPRD Kabupaten Nunukan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menindak lanjuti pembahasan Raperda Kabupaten Nunukan tentang perubahan atas Perda Kabupaten Nunukan Nomor 16 tahun 2018 tentang pemberdayaan masyarakat adat.
Dan Ketiga, Fraksi Partai Hanura, meminta kepada pemerintah Kabupaten Nunukan (Pemkab) untuk memfasilitasi mempertemukan antara pihak dayak Agabag dan Dayak Tenggalang untuk islah.
Fraksi Partai Demokrat (FPD) menyampaikan pendapat atau pandangannya yang disampaikan oleh Gat Khaleb, diantaranya sebagai berikut persoalan utama Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Kabupaten Nunukan dewasa Ini adalah semakin terbatas dan atau berkurangnya hak atas ruang hidup di atas tanah mereka sendiri. Di mana terjadi pengalihan hak MHA atas wilayah adat secara sistematis atas nama pembangunan dengan nama HGU, Taman Nasional, Hutan Lindung, dan lain-lain. Akibatnya, hari Ini MHA sudah tidak punya hak atas ruang hidup yang cukup. Hari ini saja sudah terbatas atau tidak cukup, bahkan tidak ada, apalagi 20-50 tahun yang akan datang.
“Kondisi ini harus menjadi fokus perhatian atau landasan pijakan kita semua terkait revisi dimaksud. Sebab seperti kata pepatah, tikus mati di lumbung padi. Demikianlah nasip MHA 20-50 tahun yang akan datang,” ujar Gat Khaleb.
Menurut Gat Khaleb, pengalihan hak terjadi atas nama pembangunan dan kesejahteraan, tetapi fakta yang terjadi hari ini bahwa MHA tidak mendapatkan pembangunan dan kesejahteraan yang dijanjikan tersebut. Bahkan yang terjadi adalah korporasi yang notabene mencari atau mengumpulkan kekayaan memenjarakan MHA atas tindakan perjuangan memperoleh hak makan dan hak hidup di atas tanah mereka sendiri. Oleh sebab itu, FPD meminta agar masalah ini diakhiri dengan melakukan pengakuan, perlindungan dan pemberdayan atau penguatan MMA.
“Penguatan atau pemberdayaan yang kami maksudkan meliputi kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, legal standing dan pemetaan wilayah adat. Dalam konteks inilah, dukungan fasilitas! oleh Pemda menjadi sesuatu yang harus dan bahkan mutlak kita pikirkan ke depan,” tuturnya.
Lanjut Gat, FPD berpandangan bahwa revisi yang akan kita lakukan harus bermuara pada solusi terbaik dan komprehensif. “Revisi haruslah menjamin, memastikan eksistensi MHA lebih kokoh, lebih kuat dari sebelumnya.” Tegas Gat
Oleh sebab itu, FPD berpendapat bahwa revisi yang akan kita lakukan tidak boleh mengebiri, menghilangkan atau mengaburkan sebagian atau seluruhnya eksistensi dan hak-hak MHA sebagaimana dimaksud UUD 45 Pasal 188 ayat 2, yang mengatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan MHA serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam Undang-undang.
“Dan pada akhirnya, FPD secara prinsip setuju dan siap melakukan pembahasan dengan catatan bahwa revisi yang akan dilakukan haruslah dengan tujuan memperkuat kedudukan keberadaan MHA dalam wilayah Kabupaten,” ucap Gat.
Sementara itu Siti Raudah Arsad mewakli Fraksi Gerakan Karya Pembangunan (Fraksi GKP) menyampaikan pemandangan umumnya tentang Perda Nomor 16 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat, diusulkan diubah dengan mempertimbangkan aspek penting dan krusial yaitu Masyarakat Hukum Adat karena pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat melalui Peraturan Daerah adalah sebagai implikasi dari Undang-undang Desa.
“Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat adalah penting, karena harus diakui secara tradisional masyarakat adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk,” imbuh Siti Raudah.
Sehingga Perda menjadi payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara formal dan resmi oleh Negara dan Undang Undang. Hal ini, kata Siti Raudah, dalam rangka memfungsikan hukum adat sebagai rumah besar pelindung bagi masyarakat, baik itu menjaga dan melestarikan hutan adat hingga persoalan yang mencakup sosial kemasyarakatan maka penyusunan Perda tentang Pemberdayaan Masyarakat Adat merupakan salah satu bentuk keberpihakan Pemda kepada masyarakat adat di Kabupaten Nunukan.
Pemandangan Umum Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menyikapi terkait perubahan Perda tersebut perlu sangat memperhatikan apa yang menjadi kewenangan dari pemerintah untuk melindungi serta menjaga dan melestarikan adat istiadat masyarakat hukum adat yang ada di wilayah Kabupaten Nunukan.
“Perubahan 14 pasal dalam Raperda tersebut hendaknya menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat hukum adat serta perlindungan masyarakat Hukum adat secara terstruktur,” terang Inah Anggrani.
Sementara itu dari 4 fraksi yang menyampaikan pemandangan umumnya 1 fraksi yaitu Perjuangan Persatuan Nasional menyatakan tidak akan membacakan pemandangan umumnya namun sudah menyampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD.
Discussion about this post