Oleh : Agus Dian Zakaria Jurnalis dan Pegiat Literasi
CAKRA.NEWS – Beberapa waktu lalu, jujur saja Saya dikejutkan oleh beberapa pemberitaan media yang mengangkat isu upaya Kota Tarakan untuk mencapai status kota layak anak (KLA).
Bukan apa-apa, yang mengejutkan ialah sikap optimis Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan bakal mampu mengejar poin untuk mendapatkan predikat tersebut.
Wah yang benar saja, percaya diri boleh saja, tapi mawas diri juga diperlukan sebagai birokrat pemerintahan.
Membayangkan Tarakan menyandang status KLA saja, sudah cukup membuat manusia bodoh seperti Saya tergelitik.
Saya mulai terpikir, bagaimana bisa Tarakan mampu mencapai KLA sedangkan menyelesaikan persoalan anak di depan mata saja cukup payah.
Meski tak dipungkiri, upaya gigih Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan dalam menghadirkan pelbagai ruang-ruang bermain dan rekreasi anak, patut mendapat apresiasi.
Mengingat, selain untuk kenyamanan anak dan keluarga, taman tersebut juga berhasil membangun perputaran ekonomi di Kota Tarakan.
Kita juga tak bisa menyampingkan begitu saja, upaya Pemkot Tarakan dalam membangun sarana pendidikan yang dapat dikatakan mengagumkan.
Namun apakah pembangunan tersebut membuat Tarakan mampu meraih predikat KLA?
Tunggu dulu, semut di pasir pun tahu, predikat KLA tidak cukup hanya sebatas menghadirkan fasilitas kota.
Berdasarkan Evaluasi Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) penilaian dapat diukur melalui 24 indikator KLA, yang mencerminkan implementasi atas lima klaster substantif Konvensi Hak Anak, yang meliputi;
Klaster satu, pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak. Klaster dua, pemenuhan hak anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Klaster tiga, pemenuhan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan.
Klaster empat, pemenuhan hak anak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya. Dan klaster lima, perlindungan khusus anak.
Kemen PPPA pun menguraikan, penjelasan dari lima poin klaster sebagai berikut;
Klaster satu, terkait hak sipil dan kebebasan. Salah satu yang paling penting adalah hak anak untuk mendapat identitas, termasuk pelayanan Akte Kelahiran gratis. Selain itu, anak juga berhak untuk mendapat informasi layak anak.
Klaster dua, terkait lingkungan keluarga dan pengasuhan anak. Klaster ini lebih mengarah pada ketersediaan lembaga konsultasi bagi keluarga terkait pengasuhan dan perawatan anak.
Klaster tiga, terkait kesehatan dasar dan kesejahteraan anak. Klaster ini, lebih menyoroti tentang pelayanan kesehatan anak. Mulai dari pemenuhan gizi ibu hamil hingga kesehatan dan gizi anak ketika dalam masa pertumbuhan.
klaster empat mencakup pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dengan fasilitas yang layak anak dan klaster lima, perlindungan khusus. Diantaranya, penanganan ketika anak dalam situasi konflik atau eksploitasi, dan anak berkebutuhan khusus.
Apakah Kota Tarakan sudah memenuhi syarat indikator dan klaster tersebut.
Mari kita belajar dari Kota Depok yang berhasil mendapatkan predikat KLA selama empat kali secara berturut-turut namun dianggap cacat oleh sebagian besar warganya lantaran Depok dianggap gagal menangani maraknya kasus pelecehan seksual pada anak.
Atau Predikat KLA Tangerang Selatan yang ternoda dan harus dievaluasi lantaran sejumlah lembaga mempersoalkan kasus eksploitasi anak yang dijadikan manusia silver untuk mengemis pada September 2021 lalu.
Sebagai warga, tentu kita cukup bangga jika daerah kita mendapat predikat tertentu.
Namun eloknya, penghargaan itu juga seharusnya selaras terhadap kondisi sebenarnya. Jika tidak, maka hal tersebut cukup memilukan dan reputasi KLA patut dipertanyakan.
Mau berkata apalagi, jikalau dalam beberapa dekade terakhir, kasus ekploitasi di Bumi Paguntaka (Julukan Tarakan) cukup marak, bukannya meredah malah semakin hari terlihat semakin bertambah.
Misalnya kasus anak usia sekolah yang menjadi pedagang makanan di perempatan kota dan fasilitas taman kota.
Bahkan kondisi ini sudah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Bukannya tanpa upaya, beberapa media telah pernah mengangkat persoalan tersebut.
Namun, persoalan ini seolah-olah tidak menjadi perhatian serius pemerintah.
Alasannya juga terdengar mengelitik, Dinas terkait yang pernah menanggani hal ini, kala itu pernah menjelaskan jika sebelumnya pemerintah sudah menertibkan dan melakukan mediasi kepada orangtua sang anak.
Tapi setelah itu, sang anak tetap kembali berjualan dan sampai sekarang tidak ada tindakan tegas kepada orangtuanya atau pemberi suplai dagangan sang anak.
Melihat kondisi itu, sangat wajar jika sebagian masyarakat menganggap Pemerintah Kota Tarakan belum mampu menangani persoalan eksploitasi anak.
Alih-alih menuntaskan eksploitasi anak, kasus yang menimpah anak malah semakin beragam. Mulai dari ekploitasi pelecehan seksual, kekerasan, diskriminasi bahkan perundungan.
Masih ingat terhadap kasus seorang guru di salah satu sekolah di Tarakan yang mencabuli empat anak didiknya pada April 2021 lalu.
Atau kasus pelecehan 12 anak yang dilakukan seorang Pemuda Penyuka Sesama Jenis.
Atau gadis 15 tahun yang diperkosa oleh ayah dan kakak kandung pada Desember 2021 lalu.
Juga jangan lupakan kasus prostitusi seksual di bawah umur yang terjadi akhir Oktober 2021 lalu.
Bahkan, kasus terbaru menjadi pembuka awal tahun 2022, kasus asusila yang dilakukan seorang oknum guru ngaji kepada lima orang muridnya.
Ini baru masuk pada kasus yang diketahui, bagaimana pada kasus yang tidak pernah dilaporkan atau terlaporkan.
Semua kasus yang disebutkan, dapat dicek dan kroscek kevaliditasnya dalam jejak digital berita lokal maupun nasional.
Melihat kondisi ini, apakah layak jika Saya memandang upaya Kota Tarakan menyandang status KLA merupakan ekspektasi lucu-lucuan?
Semua memang kembali ke penilaian tim penilai Kemen PPPA, namun sekali lagi kejujuran harus di atas segala-galanya.
Kota Tarakan bukan tidak mungkin mendapatkan predikat KLA, namun apakah predikat itu nantinya dapat berdampak besar bagi persoalan anak-anak yang terjadi hari ini?
Buat yang di singgasana, realistislah sekali saja.
Berhentilah menjadikan penghargaan sebagai topeng hasil kinerja.
Sebagian masyarakat mungkin bisa terpanah namun mereka tidak akan merasakan manfaatnya.
Sepertinya anak kita tidak membutuhkan predikat KLA atau award lainnya.
Tapi anak kita, lebih butuh sentuhan dan perhatian nyata untuk menikmati masa indah kanak-kanaknya.
Tarakan 24-01-2022
Discussion about this post