Oleh : Agus Dian Zakaria jurnalis dan Pegiat Literasi
CAKRANEWS – Saya patut bersyukur, beberapa waktu lalu presiden Jokowi sempat membantah adanya wacana pemberian bantuan sosial (Bansos) pada korban judi online (Judol). Meski setelahnya, wacana tersebut diluruskan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, yang bersikukuh wacana tersebut tetap dilakukan namun bukan menyasar pada pelaku judol, melainkan pada korban terdampak. Korban yang dimaksud dapat diartikan orang terdekat yang dirugikan oleh aktivitas pelaku Judol.
Tentu saya percaya dan yakin, niat pak Muhadjir cukup mulia untuk membantu korban terdampak judol. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak banyak menteri yang berpikir sejauh beliau. Mendengar wacananya saja membuat jutaan masyarakat Indonesia meronta-ronta. Saya kira Muhadjir Effendy satu-satunya menteri yang berani menantang logika normal manusia. Di tengah banyaknya persoalan sosial yang harus diselesaikan, beliau justru mengambil jalan berbeda dengan memberikan perhatian eksklusif pada korban terdampak judol. Agak sulit memang mencerna strategi menteri satu ini, ia cukup percaya diri mengumumkan wacananya meski harus menerima hujatan masyarakat di mana-mana.
Jika dipikir-pikir lagi, Muhadjir sepertinya juga tidak salah, beliau hanya berupaya menjalankan kebijakan mengikuti situasi dan kondisi dalam negeri. Wajar jika beliau memberi perhatian khusus pada korban terdampak Judol lantaran peminat judol di negara kita sangat besar. Tentu banyaknya peminat juga berdampak pada jumlah korban terdampak secara kuantitas. Kita tak perlu terkejut lantaran mental masyarakat negeri kita senang pada hal-hal yang instan nan menggiurkan. Kita seolah membenci proses dan lebih mudah terlena pada hal bersifat praktis yang memiliki dampak besar.
Sukses secara finansial adalah impian sebagian besar orang. Apalagi, kesuksesan itu bisa didapatkan dengan mudah tanpa harus bekerja keras mengeluarkan banyak tenaga dan menguras pikiran. Tidak mengherankan, jika saat ini jualan kesuksesan secara instan cukup laris dan banyak kita temui di Indonesia. Mulai dari bisnis Multi Level Marketing (MLM) abal-abal, investasi bodong, bahkan judol tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Meski Judol lebih identik dengan permainan, namun buaian judol juga tak kalah mengiurkan seperti buaian bisnis yang menjual kesuksesan instan lainnya. Godaan mendapatkan pundi-pundi rupiah tanpa harus bekerja keras, tentu saja membuat sebagian besar orang tertarik untuk mengadu nasib. Cukup naif rasanya jika kita berpikir pelaku Judol hanya bermain hanya untuk sekadar menang. Namun lebih daripada itu, pelaku Judol semakin candu dan terjebak lebih jauh.
Setiap tahunnya, pelaku judol terus bertambah, begitu juga dengan situs Judol yang semakin tak terkendali. Dari keterangan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi, jumlah pemain judi online di Indonesia kini sudah tembus 2,7 juta orang. Mirisnya, korban judi online itu didominasi oleh kaum muda berusia 17 hingga 20 tahun. Bahkan menurut laporan dari Drone Emprit, Indonesia menduduki peringkat pertama, disusul Kamboja, Filipina, Myanmar dan Rusia sebagai negara yang memiliki pemain Judol terbesar di dunia. Survei ini mengambil sampel secara random di berbagai daerah. Sementara itu, merujuk pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), total perputaran uang dari judi daring atau online sepanjang 2023 mencapai Rp327 triliun. Kerugian ini masih berpotensi meningkat seiring masih maraknya aktivitas Judol di masyarakat.
Bayangkan jika uang Rp 327 Triliun dipakai membantu masyarakat kurang mampu, memperbaiki infrastruktur, membiayai renovasi rumah masyarakat miskin atau pun program kemasyarakatan lainnya. Jika tidak dikorupsi, tentu anggaran ini memberi dampak besar bagi penghidupan masyarakat. Dengan kerugian yang amat besar serta ancaman semakin besarnya peminat pemain Judol dari tahun ke tahun, membuat pemerintah memberikan perhatian khusus pada Judol. Puncaknya, di tahun ini pemerintah harus mengambil langkah konkret dalam memerangi judol di Indonesia. Keseriusan pemerintah membasmi Judol dibuktikan dengan banyaknya pengungkapan dan penangkapan baik pada bandar judol maupun pelaku Judol. Bahkan tidak sedikit abdi negara yang terjerumus pada candu Judol.
Sebenarnya pelarangan judol di Indonesia telah dimuat dalam Pasal 27 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Di samping UU ITE, masih ada Pasal 303 KUHP yang mengenakan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda pidana paling banyak Rp 10 juta bagi para pemain judi. Meski memiliki regulasi yang mengatur sanksi pelaku Judol, namun hingga saat ini pemerintah cukup kewalahan dalam membasmi baik pemain maupun bandar judi.
Di tengah keseriusan pemerintah memberangus Judol di masyarakat, Menteri Muhadjir hadir memberi terobosan tak terduga. Meski wacana tersebut menunjukkan kepedulian, namun sepertinya modal niat baik saja tidak cukup untuk menjadi seorang menteri. Seorang menteri eloknya juga dituntut harus memahami persoalan-persoalan sosial pada bidang yang menjadi tupoksinya. Dalam hal ini Menteri Muhadjir agaknya belum cukup bijak dalam mengambil langkah menyelesaikan persoalan Judol. Mengapa demikian, meski korban terdampak bukanlah pelaku judol, namun memberikan bansos pada korban terdampak sama saja memberikan dukungan moril secara tak langsung pada fenomena Judol itu sendiri.
Memberi bansos pada korban terdampak membuka celah pada pelaku untuk tidak merasa bersalah terhadap keluarga, rekan atau kerabat selain itu, bansos tersebut juga berpotensi tidak menimbulkan efek jerah bagi pelaku. Dari sisi tehknis, bagaimana nantinya Pemerintah melakukan verifikasi jika korban terdampak itu valid. Bisa saja seorang yang mengklaim sebagai korban terdampak justru merupakan pelaku Judol itu sendiri. Perlu diketahui, Judol tidak mengenal usia, status sosial maupun gender. Pun sejauh ini cara yang dilakukan untuk mengindentifikasi Judol masih mengandalkan cara manual yakni melakukan pengecekkan ponsel atau barang elektronik lainnya. Padahal ada 1001 cara pelaku untuk memproteksi diri dari deteksi manual tersebut.
Lantas bagaimana teknis bantuannya, apakah penyaluran hanya mengandalkan deteksi cara manual yang hanya menerima klaim keterangan saja. Saya rasa sedikit agak konyol untuk memastikan bahwa bansos benar-benar sampai pada sasaran yang tepat. Barangkali, pemerintah eloknya memikirkan hal-hal urgent persoalan sosial yang sudah nampak di depan mata. Jangan sampai maksud baik dari pemerintah justru membuka jalan pelaku Judol mendapatkan modal untuk kembali bermain. Bahkan bisa saja niat baik ini menjadi bumerang menimbulkan efek domino pada persoalan sosial yang berpotensi menghasilkan masalah baru.
Kalau Akademisi Ekonomi dari Universitas Borneo Tarakan (UBT) Dr Margiyono S.E, M.Si dalam wawancara bersama Radar Tarakan, berpandangan, secara makro Judol akan berdampak kepada segala sistem yang ada. Misalnya di pemerintahan praktik korupsi merajalela karena pejabatnya terpapar judi online, di masyarakat kriminalitas merajalela, di tingkat sekolah mental anak menjadi rusak, dan hal ini sekaligus membuat pinjaman online tumbuh subur yang mencekik perekonomian masyarakat.
Ia juga berpandangan jika pemberian bansos pada korban terdampak Judol tidak efektif dan justru melestarikan fenomena Judol meski bansos tidak diberikan kepada pelaku.
“Justru dengan memberikan bantuan kepada korban terdampak Judol berpotensi membuat Judol terus hidup. Masih banyak masyarakat atau persoalan sosial memerlukan bantuan, misalnya fakir, lansia, masyarakat ekonomi kelas ke bawah atau pembangunan infrastruktur daerah tertinggal saya rasa lebih efektif daripada memikirkan korban terdampak Judol,”ungkapnya.
“Ini yang harus menjadi perhatian serius kalau pemerintah benar-benar serius membangun Indonesia emas di tahun 2045. Menurut saya dampak judi online setara dengan dampak narkoba. Hanya saja, regulasinya masih tergolong ringan sehingga pelaku atau bandar judi online dianggap tidak melakukan kejahatan yang berat.
Lanjutnya, Judol memiliki efek besar horizontal yang dapat berdampak pada segala hal tatanan sosial. Sehingga menurutnya, Judol dapat disetarakan seperti ancaman narkoba. Cara kerja Judol dan narkoba hampir sama, yakni membuat seseorang candu dan terperdaya alam bawa sadar atas obsesi Kemenangan. Seorang yang terpapar terus mencari cara untuk memainkannya.Dirinya juga berpandangan jika judol menimbulkan penurunan produktivitas manusia serta menurunkan etos kerja dan memburuknya mental akibat ekspektasi tidak logis.
Menelisik kerugian yang dialami negara akibat Judol, agaknya pemerintah perlu sedikit berhati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, persoalan penanganan yang seharusnya dilakukan jangan sampai berjalan ke arah yang salah. Perlu dipahami, Judol bukan hanya sekadar fenomena perilaku masyarakat (pekat biasa, namun lebih daripada itu, Judol memiliki potensi besar yang merupakan ancaman nyata bagi generasi bangsa, kultur masyarakat, bahkan tatanan sosial. Ia tak pandang bulu membuai seluruh lapisan masyarakat baik dari abdi negara, pekerja swasta, mahasiswa bahkan anak usia sekolah. Dan dalam jangka panjang, berpotensi menjadi batu sandungan besar bagi Indonesia menuju generasi emas 2045.
Discussion about this post