TARAKAN, CAKRANEWS– Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tarakan mencatat sepanjang Januari hingga September 2023, telah menangani delapan sanksi adminsitrasi dan tiga kasus tindak pidana perikanan. Hal itu diungkapkan Kepala PSDKP Tarakan, Johanis J. Medea kepada awak media baru-baru ini.
Adapun tiga tindak pidana tersebut merupakan kasus pengeboman yang dilakukan oleh nelayan Malaysia. Sementara untuk kasus sanksi administrasi, PSDKP Tarakan telah menangani delapan kasus. Mulai dari pelanggaran alat tangkap, pelanggaran daerah penangkapan, dan lain sebagainya “Ada total delapan kasus pengenaaan sanksi adminsitrasi dan 3 kasus tindak pidana perikanan,” katanya.
Dalam melakukan pengawasan terhadap pelanggaran kelautan dan perikanan di wilayah perairan Kaltara, PSDKP memiliki beberapa unit armada seperti Kapal Pengawas Perikanan (KP) Hiu 07 28 meter, di Sebatik memiliki speedboat Unit Reaksi Cepat (URC) atau RIB. Kemudian di Tarakan memiliki RIB (Rigid Inflatable Boat), sementara untuk Banjarmasin dan Balikpapan memiliki speedboat pengawas yang mendukung operasi pengawasan. “Tahun ini juga ada dukungan dari pusat, satu unit Albakor atau kapal pengawas tipe 16 meter untuk menopang pengawasan di Kaltara,” lanjutnya.
Terpisah, Kasubdit Patroli Airud Polairud Polda Kaltara, AKBP Suryanto mengatakan bahwa destructive fishing cukup sering terjadi di perairan Kaltara. Untuk itu, pihaknya melakukan upaya patroli dan sosialisasi guna mencegah aktivitas destructive fishing di perairan Kaltara. Destructive fishing yang dimaksud ialah penangkapan ikan dengan bahan peledak, bahan kimia, setrum, dan alat tangkap lainnya yang tidak ramah lingkungan.
“Berdasarkan pengalaman di lapangan destructive fishing juga banyak. Tidak hanya pengeboman, namun juga penangkapan ikan dengan racun, setrum dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Suryanto menegaskan bahwa destructive fishing merupakan aktivitas yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Apabila seseorang melakukan hal tersebut maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 2 milyar. Untuk mencegah aktivitas destructive fishing ini berulang, Polairud lebih mengutamakan upaya preventif melalui sosialisasi. Lebih lanjut, sosialisasi ini dilakukan kepada seluruh nelayan dan pelaku usaha di laut untuk menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Selain itu, juga melakukan patroli bersama intansi terkait seperti PSDKP dan TNI AL.
Discussion about this post