Keadilan restoratif atau restoratif justice, merupakan gebrakan baru dalam sistem hukum kita saat ini.
Dikeluarkannya peraturan-peraturan yang mengkhususkan penanganan perkara secara keadilan restoratif atau win-win solution tentunya akan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelapor maupun sebagai terlapor, khusunya bagi mereka-mereka yang terkadang melakukan tindak pidana ringan, seperti pencurian yang nilai kerugianmya di bawah 2.500.000 rupiah ataupun kasus pencemaran nama baik yang dilakukan melalui sosial media.
Kita patut memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesi yang telah mengeluarkan aturan ini, sehingga rasa keadilan dapat terwujud bagi setiap orang yang tinggal di indonesia.
Dapat kami jelaskan sedikit dalam video ini, restoratif justice merupakan upaya penyelesaian perkara antara pelapor dan terlapor di luar pengadilan, sehingga penanganan perkara dapat diselesaikan di tahapan penyelidikan di kepolisian.
Dasar hukumnya jelas, hal tersebut dapat kita lihat di Perkappolri No.6 tahun 2019 tentang penyidikan perkara pidana khusunya pasal 12, yang mungkinkan para pihak untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara damai. Dimama upaya restoratif justice ini dapat dilakukan sebelum pihak kepolisian mengirimkan SPDP ke kejaksaan.
Lantas bagaimana jika SPDP sudah dikirimkan ke kejaksaan, atau yang biasa disebut tahap 2. Apakah masih mendapatkan kesempatan untuk dilaksanakannya restoratif justice?
Jawabannya iya, dengan dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tentunya ada syarat2 yang harus terpenuhi, salah satunya tersangka bukan seorang residivis.
Upaya keadilan restoratif ini menitik beratkan kepada penyelesain perkara antara pelaku kejahatan dan korban, sehingga perkaranya tidak perlu diproses sampai ke tahapan persidangan di pengadilan, biasanya untuk restoratif justice ini dilakukan untuk perkara-perkara katagori ringan, misalkan pasal 372 tentang penggelapan dan 378 tentang penipuan, pasal 364 tentang pencurian ringan ataupun pasal 352 tentang penganiayaan ringan.
Restoratif justice dapat dilakukan apabila memenuhi syarat materil dan syarat formal.
Syarat materil
1. Tidak adanya penolakan dalam masyarakat
2. Tidak berdampak konflik sosial.
3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat atas perkara tersebut dan melepaskan hak penuntutnya di hadapan hukum.
4. Mengatur mengenai prinsip pembatas, artinya tidak semua perkara dapat dilakukan upaya keadilan restoratif, ada batasan-batasan yang harus diperhatikan, pelaku yang dapat mengajukan upaya restoratif justice adalah:
– Pada pelaku kejahatan yang tingkat kesalahan pelaku tindak pidana tidak
berat.
– Pelaku bukan merukan seorang residivis.
Pada tahapan di kepolisian, restoratif justice ini dapat dilakukan pada
tahapan – penyelidikan untuk ditahap
penyidikan restoratif justis dilakukan sebelum penyidik mengirimkan SPDP ke kejaksaan.
Untuk syarat formalnya:
– Surat permohonan perdamaian antara pelapor dan terlapor.
– Surat penyataan perdamaian.
– BAP tambahan bagi mereka yang berperkara setelah dilakukannya perdamaian.
– Gelar perkara khusus yang menyetujui tercapainya restoratif justis
– Yang terakhir, pelaku tidak keberatan untuk melakukan ganti rugi kepada pelapor.**
Oleh: Jaya Wardhana SH, M.Kn
Discussion about this post