KABUL, cakra.news – Pemerintahan Taliban yang menguasai Afghanistan mengusulkan badan gabungan yang terdiri dari para pejabat dan perwakilan internasionalnya untuk mengoordinasikan bantuan internasional yang bernilai miliaran dolar, Rabu (12/01/2022).
Tidak jelas apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah asing akan mendukung perjanjian semacam itu karena itu akan menjadi peningkatan tajam dalam akses ke pendanaan internasional oleh Taliban.
Penarikan tiba-tiba bantuan asing tahun lalu menyusul keluarnya AS yang tergesa-gesa dan kemenangan Taliban pada Agustus membuat ekonomi Afghanistan yang rapuh di ambang kehancuran.
Harga pangan naik dengan cepat dan menyebabkan kelaparan yang meluas.
Sanksi Barat yang ditujukan kepada Taliban juga mencegah lewatnya pasokan dasar makanan dan obat-obatan, meskipun mulai mereda setelah pengecualian disahkan oleh Dewan Keamanan PBB dan Washington pada bulan Desember lalu.
“Tujuan komite ini adalah koordinasi pada tingkat yang lebih tinggi untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan dari komunitas internasional dan untuk mendistribusikan bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan,” kata Wakil Perdana Menteri Afghanistan Abdul Salam Hanafi dalam konferensi pers di Kabul yang juga dihadiri oleh utusan PBB Ramiz Alakbarov.
Dia meminta komunitas internasional agar mereka menggunakan kapasitas pemerintah untuk tujuan bantuan mereka.
Pemerintah Kabul mengingatkan bahwa jutaan orang bisa kelaparan saat krisis ekonomi meningkat, sementara bantuan kemanusiaan bersedia meningkatkan bantuan tetapi ingin tetap bebas dari campur tangan pemerintah.
Juru bicara kementerian keuangan Afghanistan mengatakan bahwa diskusi akan berlangsung selama 24 jam ke depan dengan PBB untuk proposal pembentukan badan bersama.
Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan Alakbarov mengatakan bahwa badan-badan PBB sudah mengkomunikasikan persyaratan mereka kepada Taliban mengenai bantuan.
PBB meminta jaminan untuk akses ke seluruh negeri, termasuk untuk anggota staf wanita.**
Pewarta : Andi Surya
Sumber : Reuters
Discussion about this post