Oleh: Anhari Firdaus, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Borneo Tarakan.
CAKRANEWS – Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kabar bahwa insentif guru di Kalimantan Utara (Kaltara) dihentikan dengan alasan “menimbulkan temuan oleh BPK”. Pernyataan ini disampaikan oleh Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) provinsi, yang menyebut bahwa insentif tersebut tidak lagi dianggarkan demi efisiensi, serta bukan kewenangan Pemprov Kaltara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Menariknya, jika kita menoleh ke Kalimantan Timur (Kaltim) — provinsi tetangga yang tak kalah tantangan geografis dan demografisnya — justru pemerintahnya mampu mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,1 triliun untuk insentif guru pada tahun 2025.
Anggaran ini ditujukan untuk seluruh guru, baik PNS (Pegawai Negeri Sipil) maupun honorer, yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta di seluruh provinsi tersebut.
Pemberian insentif ini tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi juga untuk mendorong pendidikan yang lebih merata, terutama di daerah terpencil. Salah satu alokasi khusus adalah Rp50 miliar yang disiapkan untuk memberikan insentif kepada guru yang bertugas di daerah yang sangat sulit dijangkau, seperti di pedalaman dan pulau-pulau terluar. Ini menunjukkan bahwa pemerintah Kaltim juga memperhatikan guru honorer yang selama ini memiliki tantangan tersendiri dalam hal kesejahteraan.
Pemprov Kaltim merencanakan pemberian insentif tambahan sebesar Rp500 ribu per bulan untuk para guru honorer di daerah tertentu, yang akan disesuaikan dengan anggaran dan kebutuhan masing-masing wilayah. Kebijakan ini dirancang untuk meringankan beban guru-guru yang belum mendapatkan penghasilan tetap yang layak.
Lalu, Kenapa Kaltim Bisa, Sementara Kaltara Tidak?
Jawabannya terletak pada mekanisme yang diterapkan oleh kedua provinsi. Pemerintah Provinsi Kaltim menyalurkan insentif dengan mengacu pada aturan kewenangan dan pengelolaan keuangan yang tepat. Untuk guru SMA/SMK, yang memang merupakan kewenangan provinsi menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, insentif diberikan langsung melalui program provinsi. Sementara untuk guru SD dan SMP (yang merupakan tanggung jawab kabupaten/kota), Kaltim menggunakan skema Bantuan Keuangan Antar Daerah. Jadi dana tetap berasal dari provinsi, namun disalurkan ke kabupaten/kota — dan di sanalah insentif didistribusikan. Cara ini memastikan tidak ada pelanggaran kewenangan, dan tentu saja aman dari temuan BPK.
Perbandingan dengan Kaltara.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Kaltara. Indikasinya, pemberian insentif sebelumnya tidak menggunakan mekanisme bantuan antar daerah, dan bisa jadi langsung menyentuh guru SD/SMP yang secara administratif berada di luar kewenangan provinsi. Inilah yang kemudian menjadi celah bagi temuan BPK: bahwa provinsi menganggarkan dan menyalurkan dana untuk pegawai yang berada di luar domainnya, tanpa payung hukum dan prosedur yang memadai.
Namun, setelah merujuk pada Pasal 298 UU No. 23 Tahun 2014, kita bisa melihat bahwa untuk mengalokasikan insentif kepada guru SD/SMP, Pemprov Kaltara harus melalui prosedur yang benar. Pasal 298 Ayat (5) mengatur bahwa hibah dan bantuan keuangan antar daerah dapat dilakukan, dengan memperhatikan kewenangan masing-masing daerah. Artinya, jika Pemprov Kaltara ingin memberikan insentif kepada guru di jenjang SD/SMP, dana tersebut harus disalurkan ke kabupaten/kota melalui mekanisme hibah atau bantuan keuangan.
Ini menjadi dasar sahih bagi pemerintah provinsi untuk menyalurkan bantuan ke Pemda lain (Kabupaten/Kota), asalkan melalui prosedur hibah atau bantuan keuangan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dengan demikian, penghentian insentif di Kaltara bukan karena aturan yang melarang, melainkan karena kurangnya pemahaman atau ketidaksiapan dalam menerapkan prosedur yang sesuai.
Ironisnya, alih-alih memperbaiki prosedur, yang dilakukan justru menghentikan kebijakan — seolah menyerah pada birokrasi dan menjadikan regulasi sebagai tameng ketidakmampuan.
Peluang bagi Kaltara: Belajar dari Kaltim
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Kaltara belajar dari Kaltim. Bahwa aturan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dikelola secara cerdas. Insentif guru bukanlah hal yang tabu selama dilaksanakan dalam koridor yang tepat: ada dasar hukum, ada mekanisme anggaran yang benar, dan ada kemauan politik untuk berpihak kepada mereka yang mencerdaskan bangsa.
Karena kalau hanya karena takut “temuan BPK”, lalu kesejahteraan guru dikorbankan, maka kita patut bertanya: sebenarnya siapa yang sedang dilayani oleh pemerintah? Guru atau audit?
Kesimpulan Anggaran 2025:
Anggaran insentif guru di Kaltim untuk tahun 2025 tercatat sebesar Rp1,1 triliun, dengan alokasi khusus Rp50 miliar untuk guru di daerah terpencil, mencakup PNS dan guru honorer. Sementara itu, Kaltara menghadapi kendala dalam menyalurkan insentif ini karena adanya mekanisme yang kurang tepat, yang berpotensi menyebabkan temuan BPK terkait pengelolaan anggaran.
Sebagai catatan penting, aspek kesejahteraan guru patut mendapatkan perhatian serius dalam diskusi kebijakan insentif ini. Jika insentif benar-benar dihapuskan tanpa solusi alternatif yang adil, maka yang dikorbankan bukan hanya kesejahteraan para pendidik, tetapi juga masa depan peserta didik di Kalimantan Utara.
Masih banyak guru di Kaltara yang berstatus honorer, bahkan mengabdi di sekolah swasta dengan kondisi penghasilan yang jauh dari layak. Sebut saja Ibu Muntia, salah satu contoh nyata, yang hingga hari ini menggantungkan seluruh penghidupannya pada insentif dari pemerintah. Ia dan banyak guru lain tidak menerima gaji tetap dari lembaganya, sehingga insentif menjadi satu-satunya sumber penghasilan.
Bayangkan jika para guru seperti mereka memilih berhenti karena tidak lagi mampu bertahan secara ekonomi — berapa banyak siswa yang akan kehilangan hak atas pendidikan yang layak? Ketiadaan guru bukan sekadar soal administrasi, tapi soal hilangnya akses pengetahuan bagi anak-anak bangsa.
Discussion about this post