JAKARTA, cakra.news – Solusi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait tiga siswa SD tak naik kelas tiga kali di Tarakan dinilai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) belum berpihak pada kepentingan anak, Sabtu (27/11/2021)
mengatakan, pihaknya melakukan
Rapat Koordinasi di Forum Group Discussion (FGD) antara KPAI dengan SKPD di kantor Walikota Tarakan bersama Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi pada beberapa waktu lalu, dikatakan Komisioner KPAI Retno Listyarti solusi yang muncul dari SKPD justru belum berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.
Ada tiga usulan, kata Retno yang dipaparkan oleh SKPD. Pertama, kenaikan kelas bisa dilakukan jika ada surat rekomendasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang memerintahkan sekolah menaikkan kelas ketiga anak itu.
Hal ini, menurut Retno merupakan kewenangan sekolah dan dewan guru soal kenaikan kelas.
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi dan KPAI, kata dia tak punya wewenang untuk menentukan naik kelas atau tidaknya peserta didik.
“Selain itu usulan kenaikan kelas justru dikemukakan sendiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan saat tim gabungan pengawasan ke sekolah,” papar Retno.
Kedua, kenaikan kelas dapat dilakukan dengan syarat tertentu, yakni cabut gugatan.
Menurut Retno, pencabutan gugatan maupun rencana remedial untuk kenaikan kelas dapat dilakukan pihak sekolah dengan duduk bareng bersama orang tua peserta didik.
“Dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan perspektif perlindungan anak,” ujarnya.
Ketiga, usulan perwakilan inspektorat Tarakan mengatakan bahwa akar masalahnya adalah keputusan Kementerian Agama yang memasukkan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen.
Retno menyampaikan perwakilan dari inspektorat Tarakan meminta pihaknya bersama Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi mengirim surat kepada Kementerian Agama untuk mencabut kebijakan bahwa Saksi Yehuwa masuk dalam pendidikan agama Kristen.
“Jika ingin Saksi Yehuwa diakomodir, maka diminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi serta KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi negara yang ke-7,” ungkap Retno.
Semua itu, seru Retno bukan kewenangan KPAI serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Ketiga usulan ini pun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak beradik yang tidak naik kelas 3 kali sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan penyebab ketiga anak itu tak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut. Pertama terjadi pada 2018/2019. Lalu, ketiga anak itu sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan.
Alasannya, tidak naik kelas pertama lantaran absensi tak memenuhi syarat. Ada sekitar 90 hari sehingga ketiga anak dianggap tak hadir tanpa keterangan.
“Padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama tiga bulan,” ucapnya.
Lalu, keputusan tak naik kelas yang kedua kali terjadi pada 2019/2020.
Penyebabnya, kata Retno karena nilai agama dari ketiga anak itu nol. Hal ini disebabkan ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama, sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa.
Kemudian, tiga anak tak naik kelas untuk ketiga kalinya terjadi pada 2020/2021. Hal ini disebabkan nilai agama yang tidak tuntas, sedangkan nilai seluruh mata pelajaran lain sangat bagus.
Menurut Retno, ketiga anak itu mengaku selalu mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kristen di sekolah. Bahkan, nilai mereka selalu tinggi.
“Namun, saat nilai praktek, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya,” jelas Retno.**
Pewarta : Andi Surya
Sumber : CNN Indonesia
Discussion about this post