TARAKAN, CAKRANEWS – Miris dan memilukan, barangkali kalimat itu dapat menggambarkan maraknya fenomena anak berjualan di Simpang 4 GTM Kota Tarakan. Pasalnya, fenomena itu terjadi di Tarakan, daerah yang dianugerahi penghargaan sebagai kota layak anak tahun 2023 kategori Pratama.
Alih alih terselesaikan fenomena ini justru semakin menjamur dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas fenomena ini?
Pemkot Tarakan, sejatinya, telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi persoalan ini. Salah satunya, dengan membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Layak Anak. Meski sempat ditargetkan rampung pada Agustus 2023, namun hingga saat ini Raperda Kota Layak Anak (KLA) belum juga terealisasi.
Upaya lain dilakukan melalui Dinas Sosial (Dinsos) dan Satpol PP dengan melalukan razia penertiban. Sayangnya, hingga saat ini masih ditemukan anak-anak berjualan di persimpangan 4 lampu merah GTM, yang mempertemukan Jalan Jenderal Sudirman, Yos Sudarso, Mulawarman dan Jalan Gajamada.
CAKRANEWS beberapa waktu lalu mencoba mengonfirmasi kepada salah satu dinas yang bertanggung jawab terhadap persoalan ini, yakni Dinas Sosial (Dinsos).
Dinsos tak menampik jika menemukan berbagai kendala dalam upaya menyelesaikan persoalan ini. Satu di antaranya yakni sulitnya melakukan pembinaan lantaran mereka berjualan dengan alasan membantu perekonomian orang tua.
Penyuluh Sosial Ahli Muda Seksi Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Tarakan, Akhmad Sujai mengaku, telah mendatangi lokasi dimana masyarakat sering menemukan anak berjualan.
“Begitu ada pengaduan dari masyarakat terkait anak-anak yang berjualan di lampu merah. Hari itu juga kami lakukan survei langsung dan ternyata benar. Ada anak anak yang disuruh orang tuanya berjualan,” ucapnya baru-baru ini.
Sujai mengungkap, mayoritas anak-anak yang berjualan di Simpang 4 GTM Tarakan berasal dari daerah Selumit Pantai atau Belakang BRI. Kemudian ada pula kasus dimana mereka dipaksa berjualan oleh orang tuanya dengan alasan untuk membantu ekonomi.
“Kemudian kasus kedua, ada ibu Ibu terlantar atas nama Susilawati. Kasusnya ini dia punya empat anak dan satu di antaranya disabilitas tunarungu. Anak anaknya ini di bawah berpindah-pindah (mobile) dan terakhir itu tinggal di jembatan penyeberangan GTM. Ternyata anak anaknya itu diikutkan untuk berjualan dan meminta-minta. Kasusnya ini suaminya tertangkap narkoba dan divonis 12 tahun di Nunukan,” ungkapnya.
Dinsos Tarakan, kata dia, telah membawa orang tua beserta anak tersebut ke gedung Shelter Dinas Sosial dan berencana bekerja sama dengan Baznas untuk memberi bantuan. Namun mereka menolak dan meminta untuk dipulangkan. “Alhasil, Dinsos membuat surat pernyataan kepada orang tua untuk tidak lagi mempekerjakan anaknya,” ungkapnya.
Ia mengungkap dari hasil wawancara kepada sejumlah anak yang ditemui, mereka berjualan kacang di simpang 4 GTM dengan Rp 5 ribu dan modal awal Rp 2 ribu. Rata-rata mereka yang berjualan masih berusia sekolah dasar yakni kelas 4 hingga 6 SD.
“Dari hasil wawancara, mereka disuruh untuk menjual minimal 20 bungkus. Mereka ini jualannya setelah pulang sekolah.Tapi sebenarnya mereka ini jualan hanya untuk trik padahal kedoknya mau berharap iba dari masyarakat,” paparnya.
Seolah tak ingin tersudut, pihaknya meminta bantuan para orang tua untuk tak menyuruh anaknya berjualan dengan alasan apapun. Terlebih, hal ini dapat menganggu keselamatan baik bagi pengendara maupun anak yang berjualan. Selain itu juga melanggar Undang-undang tentang Perlindungan Anak karena pada dasarnya tidak diperkenankan mengeksploitasi anak.
Agar kejadian seperti ini tidak terulang, Dinsos pun berencana akan melakukan koordinasi dengan Lurah guna mendata dan mengumpulkan anak-anak beserta orang tuanya. Tujuannya untuk mensosialisasikan Undang-undang Perlindungan Anak yang di dalamnya memuat larangan untuk memperkerjakan anak di bawah umur.
Melihat persoalan yang tak berujung ini, sudah semestinya seluruh pihak ikut terlibat mengatasi masalah sosial tersebut. Dari sisi Pemerintah Kota Tarakan, semestinya segera merealisasikan Raperda. Adanya Raperda ini tentu menjadi sangat penting dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah yang berkesinambungan dengan tujuan nasional dalam konteks perlindungan anak. Terlebih, Tarakan telah dianugerahi kota layak anak.
Kemudian, kepada intansi terkait lainnya seperti Dinsos, Satpol PP maupun Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Tarakan seharusnya memberikan peringatan tegas berupa surat penyataan bersedia tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Tidak hanya itu pernyataan harus dilengkapi dengan hukuman tegas. Dinas sosial dan DP3APPKB juga perlu menerapkan pendekatan humanis dengan melakukan pemberdayaan kepada para orang tua sehingga mereka memilki kemampuan untuk meningkatkan perekonomian.
Dan terakhir kepada masyarakat luas, untuk tidak membudayakan memberi ataupun membeli sesuatu, saat berhenti di persimpangan lampu merah yang ada di Tarakan. Sebab, apabila masyarakat selalu membudayakan hal itu,maka otomatis mereka yakni anak jalanan, pengemis, gelandangan serta penjual terbiasa berkehidupan di jalan. Dalam artian ini, mereka akan semakin nyaman untuk mencari kehidupan ekonomi dengan cara seperti itu.
Discussion about this post