CAKRANEWS – Pendidikan adalah pondasi utama dalam membangun peradaban bangsa. Di balik setiap kemajuan sebuah negeri, terdapat kerja keras para guru yang tanpa lelah mendidik dan membentuk karakter generasi penerus. Karena itu, memperjuangkan kesejahteraan guru seharusnya menjadi prioritas, bukan justru dikorbankan atas nama efisiensi anggaran.
Ironisnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara justru mengambil langkah mengejutkan dengan menghapus insentif bagi guru mulai tahun 2025. Kebijakan ini tak hanya mencederai komitmen terhadap dunia pendidikan, tetapi juga menunjukkan kurangnya empati terhadap guru, terutama guru non-ASN dan guru swasta yang mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Langkah penghapusan insentif ini diambil secara sepihak, tanpa konsultasi atau komunikasi yang memadai dengan pihak-pihak yang terdampak langsung. Tidak ada ruang dialog, tidak ada masa transisi. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah etika pemerintahan. Mengubah kebijakan publik, apalagi yang menyangkut penghidupan ribuan guru, semestinya melalui proses musyawarah dan keterbukaan.
Bagi banyak guru di wilayah perbatasan, insentif bukan sekadar bonus, melainkan bagian penting dari penghasilan mereka. Ketika insentif itu dihapus begitu saja, mereka dipaksa bertahan dalam ketidakpastian ekonomi. Ini jelas bertentangan dengan semangat penghargaan terhadap profesi guru. Kita tidak bisa berharap kualitas pendidikan meningkat jika kesejahteraan para pendidik justru diabaikan.
Kebijakan ini patut dipertanyakan dari sisi hukum. UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1) menegaskan bahwa setiap warga negara berhak hidup sejahtera. Selain itu, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas mengatur hak guru atas penghasilan yang layak. Ada pula UU No. 23 Tahun 2014 yang menuntut setiap kebijakan daerah dijalankan secara transparan dan akuntabel.
Tanpa kajian sosial dan ekonomi yang memadai, penghapusan insentif ini jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ini bukan hanya soal angka dalam anggaran, tetapi soal nasib dan masa depan para guru dan anak-anak didik di wilayah 3T.
Sebagai mahasiswa dan bagian dari masyarakat Kalimantan Utara, saya merasa prihatin. Dunia pendidikan bukan sekadar soal kurikulum atau gedung sekolah, tetapi tentang manusia. Tentang guru-guru yang mengajar dalam keterbatasan, namun tetap berdiri tegak demi anak-anak bangsa. Ketika insentif mereka dihapus begitu saja, itu bukan hanya pemangkasan anggaran, tetapi juga pemangkasan penghargaan terhadap profesi mereka.
Sudah saatnya kita bersuara dan menuntut :
1. Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara perlu meninjau ulang kebijakan ini.
2. Diperlukan kajian yang objektif dari lembaga independen untuk menilai dampak sosial dan ekonomi dari penghapusan insentif tersebut.
3. Selain itu, alternatif kompensasi yang adil dan layak harus disiapkan.
4. Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa dan akademisi, harus mengawal kebijakan ini.
Kita tidak bisa diam ketika pendidikan dan para gurunya tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Karena tanpa guru yang sejahtera, jangan harap pendidikan akan bermutu. Dan tanpa pendidikan yang bermutu, jangan pernah bermimpi tentang masa depan yang cerah.
Oleh: Anhari Firdaus
Menteri Sospol BEM UBT
Discussion about this post